Jumat, 19 Oktober 2012
Senin, 15 Oktober 2012
Artikel Mengenai Akuntansi Sektor Publik 1
Pewujudan Transparansi dan
Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik
PENDAHULUAN
Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan (UU 32/2004). Pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, yang merupakan
limpahan Pemerintah Pusat kepada Daerah. Meskipun demikian, urusan pemerintahan
tertentu seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal
nasional masih diatur Pemerintah Pusat.
Pendelegasian
kewenangan tersebut disertai dengan penyerahan dan pengalihan pendanaan, sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) dalam kerangka Desentralisasi
Fiskal. Pendanaan kewenangan yang diserahkan tersebut dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu mendayagunakan potensi keuangan daerah sendiri dan mekanisme
perimbangan keuangan Pusat-Daerah dan antar Daerah. Kewenangan untuk
memanfaatkan sumber keuangan sendiri dilakukan dalam wadah Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang sumber utamanya adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Sedangkan pelaksanaan perimbangan keuangan dilakukan melalui Dana Perimbangan
yang terdiri atas Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus
(Undang-Undang No. 33 tahun 2004).
Implikasi
langsung pendelegasian kewenangan dan penyerahan dana tersebut adalah kebutuhan
untuk mengatur hubungan keuangan antara Pusat-Daerah dan pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah. Undang-Undang No. 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara mengatur antara lain pengelolaan keuangan daerah dan
pertanggungjawabannya. Pengaturan tersebut meliputi penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berbasis prestasi kerja dan laporan
keuangan yang komprehensif sebagai bentuk pertanggungjawaban yang harus
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Untuk
merealisasikan pengaturan pengelolaan dan pertanggunganjawaban keuangan
tersebut, pengembangan dan pengaplikasian akuntansi sektor publik sangat
mendesak dilakukan sebagai alat untuk melakukan transparansi dalam mewujudkan
akuntabilitas publik untuk mencapai good governance (accounting for
governance).
Penyusunan
APBD berbasis prestasi kerja atau kinerja dilakukan berdasarkan capaian
kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan
standar pelayanan minimal. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi
berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan
keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Dalam penyelenggaraannya,
pemerintah daerah dituntut lebih responsif, transparan, dan akuntabel terhadap
kepentingan masyarakat.
PEMERINTAH YANG RESPONSIF, TRANSPARAN, DAN AKUNTABEL SEBAGAI
BAGIAN DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE
Bank
Dunia memberikan definisi governance sebagai cara pemerintah mengelola
sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan
United Nation Development Program (UNDP) lebih memfokuskan pada cara
pengelolaan negara dengan mempertimbangkan aspek politik yang mengacu pada
proses pembuatan kebijakan;aspek ekonomi yang mengacu pada proses pembuatan
keputusan yang berimplikasi pada masalah pemerataan, penurunan kemiskinan,
serta peningkatan kualitas hidup; dan yang terakhir aspek administratif yang
mengacu pada sistem implementasi kebijakan.
Dengan
demikian, orientasi pembangunan sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan good
governance. Lebih jauh, UNDP memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan good
governance, antara lain transparency, responsiveness, consensus
orientation, equity, efficiency dan effectiveness, serta accountability.
Dari karakterikstik tersebut, paling tidak terdapat tiga hal yang dapat
diperankan oleh akuntansi sektor publik yaitu terwujudnya transparansi, value
for money, dan akuntabilitas.
Dalam
memberikan layanan kepada masyarakat, pemerintah daerah dituntut lebih
responsif atau cepat dan tanggap. Terdapat 3 (tiga) mekanisme yang dapat
dilaksanakan daerah agar lebih responsif, transparan, dan akuntabel serta
selanjutnya dapat mewujudkan good governance yaitu: (1) mendengarkan
suara atau aspirasi masyarakat serta membangun kerjasama pemberdayaan masyarakat,
(2) memperbaiki internal rules dan mekanisme pengendalian, dan (3)
membangun iklim kompetisi dalam memberikan layanan terhadap masyarakat serta
marketisasi layanan. Ketiga mekanisme tersebut saling berkaitan dan saling
menunjang untuk memperbaiki efektivitas pengelolaan pemerintahan daerah.
Manajemen
risiko (risk management) merupakan salah satu aspek pengelolaan keuangan
penting lainnya dalam pewujudan good governance. Manajemen risiko
dilakukan untuk meminimumkan kerugian yang mungkin terjadi akibat dari adanya
ketidakpastian (uncertainty) masa depan.
Risiko
yang terjadi akibat ketidakpastian masa depan tidak saja dialami oleh sektor
swasta, namun juga oleh organisasi sektor publik, termasuk pemerintahan,
menghadapi hal yang sama. Risiko akibat ketidakpastian masa depan yang dihadapi
oleh organisasi sektor publik terkait dengan: (1) kemungkinan terjadi perubahan
politik yang tidak menguntungkan, misalnya terjadi instabilitas politik
nasional dan lokal, (2) kemungkinan terjadi perubahan politik dan ekonomi
regional dan internasional, seperti krisis ekonomi dan mata uang, depresi
ekonomi, konflik antar negara, perang, dan sebagainya, (3) kemungkinan terjadi
kriminalitas ekonomi tingkat tinggi sehingga mengganggu perekonomian negara,
seperti money laundering, white collar crime, mafia perbankan, pajak,
bea cukai, dan sebagainya, (4) kemungkinan terjadi kegagalan hukum yang
berimplikasi pada keuangan negara, seperti munculnya mafia peradilan, dan (5)
kemungkinan terjadi bencana alam maupun bencana kemanusiaan.
AKUNTABILITAS PUBLIK DAN TRANSPARANSI
Fenomena yang terjadi dalam perkembangan sektor publik di
Indonesia dewasa ini adalah menguatnya tuntutan akuntabilitas atas
lembaga-lembaga publik, baik di pusat maupun daerah. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk
kewajiban mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi
organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya,
melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik
(Stanbury, 2003).
Pada dasarnya, akuntabilitas adalah pemberian informasi dan
pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja finansial kepada
pihak-pihak yang berkepentingan (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Pemerintah,
baik pusat maupun daerah, harus dapat menjadi subyek pemberi informasi dalam
rangka pemenuhan hak-hak publik yaitu hak untuk tahu, hak untuk diberi
informasi, dan hak untuk didengar aspirasinya.
Dimensi akuntabilitas publik meliputi akuntabilitas hukum dan
kejujuran, akuntabilitas manajerial, akuntabilitas program, akuntabilitas
kebijakan, dan akuntabilitas finansial. Akuntabilitas manajerial merupakan
bagian terpenting untuk menciptakan kredibilitas manajemen pemerintah daerah.
Tidak dipenuhinya prinsip pertanggungjawaban dapat menimbulkan implikasi yang
luas. Jika masyarakat menilai pemerintah daerah tidak accountable,
masyarakat dapat menuntut pergantian pemerintahan, penggantian pejabat, dan sebagainya.
Rendahnya tingkat akuntabilitas juga meningkatkan risiko berinvestasi dan
mengurangi kemampuan untuk berkompetisi serta melakukan efisiensi.
Manajemen bertanggung jawab kepada masyarakat karena dana yang
digunakan dalam penyediaan layanan berasal dari masyarakat baik secara langsung
(diperoleh dengan mendayagunakan potensi keuangan daerah sendiri), maupun tidak
langsung (melalui mekanisme perimbangan keuangan). Pola pertanggungjawaban
pemerintah daerah sekarang ini lebih bersifat horisontal di mana pemerintah
daerah bertanggung jawab baik terhadap DPRD maupun pada masyarakat luas (dual
horizontal accountability). Namun demikian, pada kenyataannya sebagian
besar pemerintah daerah lebih menitikberatkan pertanggungjawabannya kepada DPRD
daripada masyarakat luas (Mardiasmo, 2003a).
Governmental Accounting Standards Board (GASB, 1999) dalam Concepts
Statement No. 1 tentang Objectives of Financial Reporting menyatakan
bahwa akuntabilitas merupakan dasar pelaporan keuangan di pemerintahan yang
didasari oleh adanya hak masyarakat untuk mengetahui dan menerima penjelasan
atas pengumpulan sumber daya dan penggunaannya.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa akuntabilitas memungkinkan
masyarakat untuk menilai pertanggungjawaban pemerintah atas semua aktivitas
yang dilakukan. Concepts Statement No. 1 menekankan pula bahwa laporan
keuangan pemerintah harus dapat membantu pemakai dalam pembuatan keputusan
ekonomi, sosial, dan politik dengan membandingkan kinerja keuangan aktual
dengan yang dianggarkan, menilai kondisi keuangan dan hasil-hasil operasi,
membantu menentukan tingkat kepatuhan terhadap peraturan perundangan yang
terkait dengan masalah keuangan dan ketentuan lainnya, serta membantu dalam
mengevaluasi tingkat efisiensi dan efektivitas.
Pembuatan laporan keuangan adalah suatu bentuk kebutuhan
transparansi yang merupakan syarat pendukung adanya akuntabilitas yang berupa
keterbukaan (opennes) pemerintah atas aktivitas pengelolaan sumber daya
publik. Transparansi informasi terutama informasi keuangan dan fiskal harus
dilakukan dalam bentuk yang relevan dan mudah dipahami (Schiavo-Campo and
Tomasi, 1999). Transparansi dapat dilakukan apabila ada kejelasan tugas dan
kewenangan, ketersediaan informasi kepada publik, proses penganggaran yang
terbuka, dan jaminan integritas dari pihak independen mengenai prakiraan
fiskal, informasi, dan penjabarannya (IMF, 1998 dalam Schiavo-Campo and Tomasi,
1999). Pada saat ini, Pemerintah sudah mempunyai Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP) yang merupakan prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun
dan menyajikan laporan keuangan (PP No. 24 Tahun 2005).
VALUE FOR MONEY
Value
for money (VFM)merupakan konsep pengelolaan
yang mendasarkan pada tiga elemen utama, yaitu ekonomi, efisiensi, dan
efektivitas. Ekonomi adalah pemerolehan input dengan kualitas dan
kuantitas tertentu pada harga yang terendah. Ekonomi terkait dengan sejauh mana
organisasi sektor publik dapat meminimalisir input resources yang
digunakan dengan menghindari pengeluaran yang boros. Efisiensi merupakan
pencapaian output yang maksimum dengan input tertentu atau
penggunaan input yang terendah untuk mencapai output tertentu. Efektivitas
adalah tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan. Secara
sederhana, efektivitas merupakan perbandingan outcome dengan output.
Ketiga
hal tersebut merupakan elemen pokok value for money yang saling terkait.
Ketiga elemen tersebut perlu ditambah dengan dua elemen lagi yaitu keadilan (equity)
dan pemerataan atau kesetaraan (equality). Keadilan mengacu pada adanya
kesempatan sosial yang sama untuk mendapatkan layanan publik berkualitas dan
kesejahteraan ekonomi. Selain keadilan, perlu dilakukan distribusi secara
merata. Artinya, penggunaan uang publik hendaknya tidak terkonsentrasi pada
kelompok tertentu saja, melainkan dilakukan secara merata dengan keberpihakan
kepada seluruh rakyat (Mardiasmo, 2002a).
AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK
Akuntansi sektor publik memiliki kaitan erat dengan penerapan dan
perlakuan akuntansi pada domain publik yang memiliki wilayah lebih luas dan
kompleks dibandingkan sektor swasta atau bisnis. Keluasan wilayah publik tidak
hanya disebabkan keluasan jenis dan bentuk organisasi yang berada di dalamnya,
tetapi juga kompleksitas lingkungan yang mempengaruhi lembaga-lembaga publik
tersebut.
Secara kelembagaan, domain publik antara lain meliputi badan-badan
pemerintahan (Pemerintah Pusat dan Daerah serta unit kerja pemerintah),
perusahaan milik negara dan daerah (BUMN dan BUMD), yayasan, universitas,
organisasi politik dan organisasi massa, serta Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). Jika dilihat dari
variabel lingkungan, sektor publik tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi,
tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti politik, sosial,
budaya, dan historis, yang menimbulkan perbedaan dalam pengertian, cara
pandang, dan definisi. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, sektor publik dapat
dipahami sebagai entitas yang aktivitasnya menghasilkan barang dan layanan
publik dalam memenuhi kebutuhan dan hak publik.
American Accounting Association (1970) dalam Glynn (1993) menyatakan bahwa
tujuan akuntansi pada organisasi sektor publik adalah memberikan informasi yang
diperlukan agar dapat mengelola suatu operasi dan alokasi sumber daya yang
dipercayakan kepada organisasi secara tepat, efisien, dan ekonomis, serta
memberikan informasi untuk melaporkan pertanggung-jawaban pelaksanaan
pengelolaan tersebut serta melaporkan hasil operasi dan penggunaan dana publik.
Dengan demikian, akuntansi sektor publik terkait dengan penyediaan informasi
untuk pengendalian manajemen dan akuntabilitas.
Kerangka transparansi dan akuntabilitas publik dibangun paling
tidak atas lima komponen, yaitu sistem perencanaan strategik, sistem pengukuran
kinerja, sistem pelaporan keuangan, saluran akuntabilitas publik (channel of
public accountability), dan auditing sektor publik yang dapat
diintegrasikan ke dalam tiga bagian akuntansi sektor publik, yaitu: Akuntansi
Manajemen Sektor Publik, Akuntansi Keuangan Sektor Publik, dan Auditing
Sektor Publik.
AKUNTANSI MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK
Peran utama akuntansi manajemen dalam organisasi sektor publik
adalah memberikan informasi akuntansi yang relevan dan handal kepada manajer
untuk melaksanakan fungsi perencanaan dan pengendalian manajemen. Fungsi
perencanaan meliputi perencanaan strategik, pemberian informasi biaya,
penilaian investasi, dan penganggaran, sedangkan fungsi pengendalian meliputi pengukuran
kinerja. Informasi yang diberikan meliputi biaya investasi yang dibutuhkan
serta identifikasinya, penilaian investasi dengan memperhitungkan biaya dengan
manfaat yang diperoleh (cost-benefit analysis), dan penilaian
efektivitas biaya (cost-effectiveness analysis), serta jumlah anggaran
yang dibutuhkan.
Dalam perkembangannya, kelemahan dan ketertinggalan sektor publik
dari sektor swasta memicu munculnya reformasi pengelolaan sektor publik dengan
meninggalkan administrasi tradisional dan beralih ke New Public Management (NPM),
yang memberi perhatian lebih besar terhadap pencapaian kinerja dan
akuntabilitas, dengan mengadopsi teknik pengelolaan sektor swasta ke dalam
sektor publik.
Penerapan NPM dipandang sebagai suatu bentuk reformasi manajemen,
depolitisasi kekuasaan, atau desentralisasi wewenang yang mendorong demokrasi
(Pecar, 2002). Perubahan dimulai dari proses rethinking government dan
dilanjutkan dengan reinventing government (termasuk didalamnya reinventing
local government) yang mengubah peran pemerintah, terutama dalam hal
hubungan pemerintah dengan masyarakat (Mardiasmo, 2002b; Ho, 2002; Osborne and
Gaebler, 1993; dan Hughes, 1998). Perubahan teoritis, misalnya dari
administrasi publik ke arah manajemen publik, pemangkasan birokrasi pemerintah,
dan penggunaan sistem kontrak telah meluas di seluruh dunia meskipun secara
rinci reformasinya bervariasi. Tren di hampir setiap negara mengarah pada
penggunaan anggaran berbasis kinerja, manajemen berbasis outcome (hasil),
dan pengunaan akuntansi accrual meskipun tidak terjadi dalam waktu
bersamaan (Hoque, 2002; Heinrich, 2002). Polidano (1999) dan Wallis dan Dollery
(2001) menyatakan bahwa NPM merupakan fenomena global, akan tetapi penerapannya
dapat berbeda-beda tergantung faktor localized contingencies.
Walaupun penerapan NPM bervariasi, namun mempunyai tujuan yang
sama yaitu memperbaiki efisiensi dan efektivitas, meningkatkan responsivitas,
dan memperbaiki akuntabilitas manajerial. Pemilihan kebijakannya pun hampir
sama, antara lain desentralisasi (devolved management), pergeseran dari
pengendalian input menjadi pengukuran output dan outcome,
spesifikasi kinerja yang lebih ketat, public service ethic, pemberian reward
and punishment, dan meluasnya penggunaan mekanisme contracting-out (Hood,
1991; Boston et al.,1996 dalam Hughes and O’Neill, 2002; Mulgan, 1997). NPM memberikan
kontribusi positif dalam perbaikan kinerja melalui mekanisme pengukuran yang
diorientasikan pada pengukuran ekonomi, efisiensi, dan efektivitas meskipun penerapannya
tidak bebas dari kendala dan masalah. Masalah tersebut terutama berakar dari
mental birokrat tradisional, pengetahuan dan ketrampilan yang tidak memadai,
dan peraturan perundang-undangan yang tidak memberikan cukup peluang
fleksibilitas pembuatan keputusan (Pecar, 2002).
Penerapan NPM seharusnya didukung dengan penerapan Public
Expenditure Management (PEM) dalam pengalokasian dan penggunaan sumber daya
secara responsif, efektif, dan efisien (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). PEM
tidak hanya dikaitkan dengan pengeluaran, tetapi juga memperhatikan pendapatan
sebagai suatu kesatuan, sehingga kooperasi aparat pajak dengan aparat
penganggaran untuk berbagai hal seperti budget forecasting, macroeconomic
framework formulation, trade-offs between outright expenditures, dan tax
concessions adalah suatu keharusan.
Dalam kerangka desentralisasi, PEM dilaksanakan dengan
memperhatikan kondisi ekonomi, sosial, dan kemampuan daerah serta memperhatikan
local factor endowments, institusi daerah, dan kebutuhan daerah dalam
perspektif jangka panjang. Penerapan PEM dilaksanakan untuk mewujudkan agregate
fiscal discipline, allocative efficiency, dan operational efficiency (Schiavo-Campo
and Tomasi, 1999; Campos, 2001). Hal tersebut dapat dilaksanakan apabila StrategicManagementAccounting
(SMA) diterapkan dalam pemerintahan. SMA membantu penyediaan informasi,
pengendalian, dan evaluasi kinerja meskipun lingkungan dan kebutuhan organisasi
terus berubah karena SMA menekankan continual feedback dan orientasi
jangka panjang dalam membuat keputusan strategis dan menilai efektivitasnya
(Hoque, 2002).
Dalam perkembangannya, konsep value for money diperluas
dengan penerapan best value performance framework yang menunjang
reformasi layanan publik. Reformasi layanan publik meliputi empat hal mendasar
yaitu adanya standar nasional, keleluasaan dalam menyediakan layanan,
fleksibilitas organisasi, dan eksplorasi jenis layanan yang dapat disediakan
(ODPM, 2003). Layanan masyarakat seharusnya mempunyai kriteria seperti adanya
standar yang tinggi dan responsif terhadap kebutuhan masyarakatnya serta dapat
diakses oleh masyarakat yang membutuhkan. Standar yang tinggi dan responsif
merupakan sesuatu yang relatif yang dapat diantisipasi dengan penetapan standar
pelayanan minimal (SPM) atau minimum standard level of public services.
Indonesia saat ini sudah mempunyai PP No. 65 Tahun 2005 yang mengatur tentang
Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
Tujuan pokok best value adalah memodernisasi penilaian
pengelolaan pemerintahan sehingga unit kerja yang berwenang menyediakan layanan
yang baik dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga layanan yang
disediakan bukan berdasarkan dana yang tersedia (pelayanan merupakan fungsi
pendapatan), tetapi lebih pada apa yang dibutuhkan masyarakat (pelayanan
merupakan fungsi kebutuhan). Setiap unit kerja menentukan target dan tujuan serta
merefleksikannya ke dalam suatu performance plan yang memberikan
informasi mengenai jenis layanan yang disediakan, cara menyediakan layanan,
obyek pemakai layanan, kualitas layanan yang diharapkan, dan tindakan yang
diperlukan dalam menyediakan layanan (Jones and Pendlebury, 2000). Best
value juga menyelaraskan prioritas dan fokus nasional dengan prioritas dan
fokus daerah sehingga pengembangan layanan publik tidak tumpang tindih.
Best
value menitikberatkan pada pembangunan
yang berkelanjutan, keseimbangan kualitas layanan yang disediakan dengan biaya
yang dikeluarkan, dan meningkatkan akuntabilitas pemerintah dalam menyediakan
layanan publik.Best value meningkatkan akuntabilitas dengan cara
konsultasi dan musyawarah untuk memastikan adanya komunikasi yang efektif dalam
komunitas daerah. Selain itu, best value juga mensyaratkan adanya
evaluasi pada setiap aspek pekerjaan dari berbagai perspektif untuk menilai
kinerja unit kerja tersebut. Best value dapat mengadopsi teknik-teknik
manajemen sektor privat seperti value planning, value engineering,
dan value analysis, serta konsep customer value. Dengan demikian,
best value dapat dikatakan sebagai konsep pengelolaan yang berfokus pada
pelanggan dan kinerja.
Penerapan konsep-konsep di atas seperti value for money,
NPM, dan best value akan lebih nyata apabila sistem manajemen strategik
yang berbasis Balanced Scorecard (BSC). Sistem manajemen strategik
tersebut terdiri dari sistem perumusan strategi, sistem perencanaan strategi,
sistem penyusunan program, sistem penyusunan anggaran, sistem
pengimplementasian, dan sistem pemantauan.
SISTEM PENGUKURAN KINERJA
Setelah suatu sistem pengelolaan keuangan terbentuk, perlu
disiapkan suatu alat untuk mengukur kinerja dan mengendalikan pemerintahan agar
tidak terjadi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tidak adanya kepastian
hukum dan stabilitas politik, dan ketidakjelasan arah dan kebijakan pembangunan
(Mardiasmo, 2002).
Pengukuran kinerja memiliki kaitan erat dengan akuntabilitas,
seperti halnya akuntabilitas memiliki kaitan erat dengan NPM. Untuk memantapkan
mekanisme akuntabilitas, diperlukan manajemen kinerja yang didalamnya terdapat
indikator kinerja dan target kinerja, pelaporan kinerja, dan mekanisme reward
and punishment (Ormond and Loffler, 2002). Indikator pengukuran kinerja
yang baik mempunyai karakteristik relevant, unambiguous, cost-effective,
dan simple (Accounts Commission for Scotland, 1998) serta berfungsi sebagai
sinyal atau alarm yang menunjukkan bahwa terdapat masalah yang memerlukan
tindakan manajemen dan investigasi lebih lanjut (Jackson, 1995).
Fokus pengukuran kinerja terdiri dari tiga hal yaitu produk,
proses, dan orang (pegawai dan masyarakat) yang dibandingkan dengan standar
yang ditetapkan dengan wajar (benchmarking) yang dapat berupa anggaran
atau target, atau adanya pembanding dari luar (Hoque, 2002). Hasil pembandingan
digunakan untuk mengambil keputusan mengenai kemajuan daerah, perlunya mengambil
tindakan alternatif, perlunya mengubah rencana dan target yang sudah ditetapkan
apabila terjadi perubahan lingkungan.
Selama ini, sektor publik sering dinilai sebagai sarang
inefisiensi, pemborosan, dan sumber kebocoran dana. Tuntutan baru muncul agar
organisasi sektor publik memperhatikan value for money yang
mempertimbangkan input, output, dan outcome secara
bersama-sama. Dalam pengukuran kinerja value for money, efisiensi dapat
dibagi menjadi dua, yaitu: efisiensi alokasi (efisiensi 1), dan efisiensi
teknis atau manajerial (efisiensi 2). Efisiensi alokasi terkait dengan
kemampuan mendayagunakan sumber daya input pada tingkat kapasitas
optimal. Kedua
efisiensi tersebut merupakan alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
apabila dilaksanakan atas pertimbangan keadilan dan keberpihakan terhadap
rakyat (Mardiasmo, 2002).
Kampanye implementasi konsep value for money pada
organisasi sektor publik perlu gencar dilakukan seiring dengan meningkatnya
tuntutan akuntabilitas publik dan pelaksanaan good governance.
Implementasi konsep tersebut diyakini dapat memperbaiki akuntabilitas sektor
publik dan memperbaiki kinerja sektor publik dengan meningkatkan efektivitas
layanan publik, meningkatkan mutu layanan publik, menurunkan biaya layanan
publik karena hilangnya inefisiensi, dan meningkatkan kesadaran akan penggunaan
uang publik (public costs awareness).
Public Sector Scorecard
Sistem manajemen strategik berbasis BSC yang mengakomodasi
konsep-konsep di atas seperti value for money, NPM, dan best value
meliputi sistem pengukuran kinerja. Scorecard sektor publik berbeda
dengan scorecard sektor swasta, karena sektor publik lebih berfokus pada
pelayanan masyarakat bukan pada profit, tidak mempunyai shareholders,
lebih berfokus pada kondisi regional dan nasional, lebih dipengaruhi oleh
keadaan politik, dan mempunyai stakeholders yang lebih beragam
dibandingkan dengan sektor swasta.
Scorecard merefleksikan ukuran kinerja komprehensif yang mencerminkan
lingkungan kompetitif dan strategi yang digunakan. Scorecard berfokus
pada strategi yang diterapkan bukan pada pengendalian penerapan scorecard (Hoque,
2002), meskipun pengawasan terhadap scorecard perlu dilakukan mengingat
fokus strategi terus berubah seiring dengan perubahan kondisi sosial ekonomi
masyarakat (Accounts Commission for Scotland, 1998).
Pengukuran kinerja dilakukan dengan mempertimbangkan empat
perspektif BSCyaitu perspektif financial, customer, internal business dan
learning and growth (Kaplan and Norton, 1992 dalam Quinlivan, 2000)
secara proporsional. Dengan demikian, pemerintah seharusnya tidak hanya diukur
dengan kinerja keuangan, tetapi juga kinerjanya dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat secara ekonomis, efisien, dan tepat sasaran.
AKUNTANSI KEUANGAN
SEKTOR PUBLIK
Akuntansi keuangan sektor publik terkait dengan tujuan
dihasilkannya laporan keuangan eksternal. Tujuan penyajian laporan keuangan
adalah memberikan informasi yang digunakan dalam pengambilan keputusan, bukti
pertanggungjawaban dan pengelolaan, dan evaluasi kinerja manajerial dan
organisasional (IFAC, 2000; GASB, 1999).
Beberapa teknik akuntansi keuangan yang dapat diadopsi oleh sektor
publik adalah akuntansi anggaran, akuntansi komitmen, akuntansi dana, akuntansi
kas, dan akuntansi accrual. Pada dasarnya kelima teknik tersebut tidak
bersifat mutually exclusive. Artinya, penggunaan salah satu teknik
akuntansi tersebut tidak menolak penggunaan teknik yang lain. Dengan demikian,
suatu organisasi dapat menggunakan teknik akuntansi yang berbeda-beda, maupun
menggunakan kelima teknik tersebut secara bersama-sama (Jones and Pendlebury,
2000).
Isu yang muncul dan menjadi perdebatan dalam reformasi akuntansi
sektor publik di Indonesia adalah perubahan single entry menjadi double
entry bookkeeping dan perubahan teknik atau sistem akuntansi berbasis kas
menjadi berbasis accrual. Single entry pada awalnya digunakan
sebagai dasar pembukuan dengan alasan utama demi kemudahan dan kepraktisan.
Seiring dengan semakin tingginya tuntutan pewujudan good public governance, perubahan
tersebut dipandang sebagai solusi yang mendesak untuk diterapkan karena
pengaplikasian double entry dapat menghasilkan laporan keuangan yang auditable.
Cash basis mempunyai kelebihan antara lain mencerminkan informasi yang riil
dan obyektif. Sedangkan kelemahannya antara lain kurang mencerminkan kinerja
yang sesungguhnya. Teknik akuntansi berbasis accrual dinilai dapat
menghasilkan laporan keuangan yang lebih komprehensif dan relevan untuk
pengambilan keputusan. Pengaplikasian accrual basis lebih ditujukan pada
penentuan biaya layanan dan harga yang dibebankan kepada publik, sehingga
memungkinkan pemerintah menyediakan layanan publik yang optimal dan sustainable.
Pengaplikasian accrual basis memberikan gambaran kondisi
keuangan secara menyeluruh (full picture), yang meliputi manajemen
sumber daya (resource management) dan manajemen utang (liability
management), dan menyediakan indikasi kekuatan fiskal jangka panjang dalam
reformasi manajemen keuangan dan reformasi manajemen lainnya (Mellor, 1996).
Penekanan penggunaan accrual basis juga disyaratkan dalam
GASB (1999) dan diterapkan bersama-sama dengan asumsi dasar lainnya seperti going
concern, consistency of presentation, materiality and aggregation untuk
mewujudkan comparative information (IFAC, 2000). Namun demikian, accrual
accounting mempunyai beberapa kelemahan antara lain penilaian dan revaluasi
aset yang didasarkan atas taksiran dan penggunaan estimasi dalam penghitungan
depresiasi (Conn, 1996).
Beberapa negara telah mereformasi akuntansi sektor publik mereka,
terutama perubahan dari cash basis menjadi accrual basis. New
Zealand merupakan contoh sukses dalam menerapkannya. Namun, beberapa kasus
menunjukkan bahwa perubahan yang dilakukan tidak seluruhnya menjamin
keberhasilan. Kasus di Italia menunjukkan bahwa perubahan tersebut tidak
memberikan kontribusi signifikan terhadap transparansi, efisiensi, dan
efektivitas organisasi. Oleh karena itu, dalam mereformasi suatu sistem perlu
dilakukan analisis mendalam terhadap faktor lingkungan, salah satunya adalah
faktor sosiologi masyarakat (Yamamoto, 1997).
Menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pengakuan
dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan
selambat-lambatnya tahun 2008. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan
belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran
berbasis kas. Dipertegas dalam PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
yang menyatakan bahwa laporan keuangan untuk tujuan umum disusun dan disajikan
dengan basis kas untuk pengakuan pos-pos pendapatan, belanja, transfer, dan
pembiayaan, serta basis akrual untuk pengakuan pos-pos aset, kewajiban, dan
ekuitas dana.
AUDITING SEKTOR PUBLIK
Pemberian otonomi daerah berarti pemberian kewenangan dan
keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber
daya daerah secara optimal. Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan,
pemberian wewenang dan keleluasaan harus diikuti dengan pengawasan dan
pengendalian yang kuat, serta pemeriksaan yang efektif. Pengawasan dilakukan
oleh pihak luar eksekutif (dalam hal ini DPRD dan masyarakat); pengendalian,
yang berupa pengendalian internal dan pengendalian manajemen, berada di bawah
kendali eksekutif (pemerintah daerah) dan dilakukan untuk memastikan strategi
dijalankan dengan baik sehingga tujuan tercapai; sedangkan pemeriksaan (audit)
dilakukan oleh badan yang memiliki kompetensi dan independensi untuk mengukur
apakah kinerja eksekutif sudah sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan
(Mardiasmo, 2001).
Penguatan fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi
peran DPRD sebagai kekuatan penyeimbang antara eksekutif dengan masyarakat, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dan melalui LSM serta organisasi sosial
kemasyarakatan di daerah. Perlu dipahami oleh anggota DPRD bahwa pengawasan
terhadap eksekutif adalah pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan yang telah
digariskan, bukan pemeriksaan (audit). Pemeriksaan tetap harus dilakukan
oleh badan atau lembaga yang memiliki otoritas dan keahlian profesional,
seperti BPK, BPKP, atau Kantor Akuntan Publik (KAP) yang selama ini menjalankan
fungsinya lebih pada sektor swasta sehingga fungsinya pada sektor publik perlu
ditingkatkan.
Harus disadari bahwa saat ini masih terdapat beberapa kelemahan
dalam melakukan audit pemerintah di Indonesia. Kelemahan pertama
bersifat inherent sedangkan kelemahan kedua bersifat struktural.
Kelemahan pertama adalah tidak tersedianya indikator kinerja yang memadai
sebagai dasar mengukur kinerja pemerintah. Kelemahan kedua adalah masalah
kelembagaan audit Pemerintah Pusat dan Daerah yang overlapping
satu dengan lainnya, sehingga pelaksanaan pengauditan tidak efisien dan tidak
efektif.
Sehubungan dengan audit
pemerintah, terdapat penelitian mandiri mengenai pengaruh rewards
instrumentalities dan environmental risk factors terhadap motivasi
partner auditor independen untuk melaksanakan audit pemerintah.
Penghargaan (rewards) yang diterima auditor independen pada saat
melakukan audit pemerintah dikelompokkan ke dalam dua bagian
penghargaan, yaitu penghargaan intrinsik (kenikmatan pribadi dan kesempatan
membantu orang lain) dan penghargaan ekstrinsik (peningkatan karir dan status).
Sedangkan faktor risiko lingkungan (environmental risk factors) terdiri
dari iklim politik dan perubahan kewenangan. Rincian lebih lanjut
tentang faktor penghargaan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel
1.
Motivasi Auditor Independen dalam Melakukan Audit Pemerintah
Motivasi Auditor Independen dalam Melakukan Audit Pemerintah
Penghargaan Intrinsik
|
Penghargaan
Ekstrinsik
|
Kenikmatan Pribadi
1. Pekerjaan yang menarik
2. Stimulasi intelektual
3. Pekerjaan yang menantang
(mental)
4. Kesempatan pembangunan dan
pengembangan pribadi
5. Kepuasan pribadi
Kesempatan membantu orang lain
1. Pelayanan masyarakat
2. Kesempatan membantu personal
klien
3. Kesempatan bertindak sebagai
mentor bagi staf audit
|
Karir
1. Keamanan/kemapanan kerja yang
tinggi
2. Kesempatan
karir jangka panjang yang luas
3. Peningkatan Kompensasi
Status
1. Pengakuan positif dari
masyarakat
2. Penghormatan dari masyarakat
3. Prestis atau nama baik
4. Meningkatkan status sosial
|
Sumber: Lowehnson and Collins
(2001).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rewards instrumentalities
dengan segenap komponennya (penghargaan intrinsik dan ekstrinsik) berpengaruh
positif terhadap motivasi partner auditor independen untuk melaksanakan audit
pemerintah. KAP melaksanakan audit pemerintah dilandasi keyakinan bahwa
dirinya akan memperoleh kenikmatan pribadi. Kenikmatan pribadi yang dimaksud
antara lain berupa kenikmatan meningkatkan kemampuan intelektualitas,
kenikmatan meningkatkan atau paling tidak membuka kesempatan pengembangan
pribadi serta mempertimbangkan bahwa audit pemerintah merupakan suatu
pekerjaan yang menarik dan memberikan tantangan mentalitas profesional. Partner
juga berkeyakinan bahwa dengan melaksanakan audit dapat meningkatkan
karir dalam arti peningkatan kemapanan, kesempatan berkarir secara lebih luas
dan terbuka di masa mendatang, serta peningkatan kompensasi atau
penghasilan yang diperoleh. Lebih lanjut, partner berkeyakinan
akan memperoleh pengakuan positif, penghormatan, dan nama baik atau prestis
dari masyarakat, serta peningkatan status sosial dalam masyarakat (Mardiasmo,
2002).
Sedangkan, faktor risiko lingkungan tidak berpengaruh negatif
terhadap motivasi partner untuk melaksanakan audit pemerintah, meskipun
hubungan keduanya negatif. Hasil penelitian memiliki implikasi bahwa banyaknya
perubahan peraturan atau regulasi yang memunculkan kewenangan baru pemerintah
serta iklim politik yang melingkupi kondisi pemerintahan disikapi secara
hati-hati (ragu-ragu) oleh partner ketika akan menerima audit pemerintah
(Mardiasmo, 2002c).
Wallace (1986) menyatakan bahwa lembaga pemerintah memiliki suatu
dimensi politik dalam pengambilan keputusan yang merupakan bagian integral dari
setiap analisis. Persaingan politik terkait dengan persaingan pemilu maupun
persaingan antar kelompok yang berkepentingan (Carpenter, 1991) meningkatkan
permintaan bagi politisi dan atau kelompok yang berkepentingan atas informasi
akuntansi yang sudah diaudit (Baber, 1994) seiring dengan adanya pertentangan
politik atau kegiatan masyarakat (Rubin, 1987 dan Baber, 1994) untuk
menunjukkan ketepatan janji-janji politik mereka sebelumnya (Baber and Sen,
1984) atau mengungkapkan tindakan kepada pesaingnya (Baber, 1990).
Deis dan Giroux (1992) menyatakan bahwa politisi yang menghadapi
persaingan mungkin mendesak auditor independen untuk mengeluarkan laporan audit
yang diinginkan atau mungkin tindakan auditor dimonitor oleh pelaku politik
yang berpengalaman daripada yang tidak berpengalaman, sehingga diperkirakan
auditor akan menolak lembaga pemerintah yang dibebani politik. Bentuk-bentuk auditing
yang berbeda dengan yang diminta cenderung menimbulkan konflik dengan auditee
dan menciptakan masalah politis (Power, 1999). Tingginya sorotan media pers
terhadap kinerja partner juga memiliki korelasi terhadap motivasi partner
melaksanakan audit pemerintah.
Reposisi lembaga pemeriksa diperlukan untuk menciptakan lembaga
audit yang efisien dan efektif dengan memisahkan tugas dan fungsi secara jelas
ke dalam kategori auditor internal dan eksternal (Mardiasmo, 2003b). Audit
internal dilakukan oleh unit pemeriksa yang merupakan bagian dari organisasi
yang diperiksa. Sedangkan, audit eksternal dilakukan oleh unit pemeriksa yang
berada di luar organisasi yang diperiksa dan bersifat independen. Dalam hal ini
yang bertindak sebagai auditor eksternal pemerintah adalah BPK yang merupakan
lembaga independen dan merupakan supreme auditor sesuai dengan
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003.
Memperkuat Value For
Money (VFM) Audit
Good governance akan tercapai jika lembaga pemeriksa berfungsi dan tertata dengan
baik. Setelah itu, pengembangan pengauditan perlu dilakukan. Salah satunya
dengan memperluas cakupan audit, tidak hanya audit keuangan (financial
audit) tetapi juga value for money audit atau sering disebut performance
audit. Audit kinerja merupakan suatu proses sistematis untuk
memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif, agar dapat melakukan
penilaian secara independen atas ekonomi dan efisiensi operasi serta
efektivitas dalam pencapaian hasil yang diinginkan, dan kepatuhan terhadap
kebijakan, peraturan, dan hukum yang berlaku, serta menentukan kesesuaian
antara kinerja yang telah dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya, serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak pengguna
laporan tersebut (Malan et al., 1984).
Secara lebih rinci, audit kinerja dibagi menjadi audit ekonomi
dan efisiensi (management audit) dan audit efektivitas (program
audit) (Herbert, 1979). Audit ekonomi dan efisiensi bertujuan untuk
menentukan: (1) apakah suatu entitas telah memperoleh, melindungi, dan
menggunakan sumber dayanya (seperti karyawan, gedung, dan peralatan kantor)
secara hemat (ekonomis) dan efisien, (2) penyebab ketidakhematan dan ketidakefisienan,
dan (3) apakah entitas tersebut telah mematuhi peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan kehematan dan efisiensi. Sedangkan, audit efektivitas
bertujuan untuk menentukan tingkat pencapaian hasil program, efektivitas
pelaksanaan program, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pelaksanaan program (Malan et al., 1984).
Tujuan memperkuat pelaksanaan VFM audit adalah
meningkatkan akuntabilitas sektor publik. Hal ini penting untuk mendukung
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Nantinya DPR atau DPRD,
menteri-menteri dan lembaga-lembaga pemerintahan, baik di pusat maupun di
daerah, harus memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat, dan akhirnya
akuntabilitas publik merupakan bagian penting dari sistem politik dan
demokrasi.
PENUTUP
Akuntansi manajemen harus dapat memberikan informasi yang
relevan dan handal melalui strategic planning, strategic cost
management, dan strategic management accounting untuk dapat
menerapkan NPM, melaksanakan value for money untuk penentuan biaya dan
harga layanan publik, serta pengukuran kinerja pengelolaan dalam kerangka best
value performance dan public sector scorecard.
Laporan Keuangan yang dihasilkan organisasi publik, sebagai bentuk
akuntabilitas publik, seharusnya mengambarkan kondisi yang komprehensif tentang
kegiatan operasional, posisi keuangan, arus kas, dan penjelasan (disclosure)
atas pos-pos yang ada di dalam laporan keuangan tersebut. Laporan Keuangan
memerlukan perangkat yang berupa standar akuntansi pemerintahan dan sistem
akuntansi yang menggunakan sistem pencatatan berpasangan.
Audit terhadap pertanggungjawaban pengelolaan keuangan seharusnya
tidak terbatas pada audit kepatuhan, tetapi juga audit keuangan (agar dapat
memberikan pendapat atas kewajaran Laporan Keuangan), dan diperluas lagi dengan
audit kinerja. Audit kinerja tersebut merupakan suatu bentuk evaluasi pertanggungjawaban
kinerja sebagai sarana untuk memastikan bahwa value for money benar-benar
telah diaplikasikan.
Dengan demikian, akuntansi sektor publik, yang diartikulasikan
melalui akuntansi manajemen, akuntansi keuangan, dan auditing sektor
publik sudah sangat mendesak pengembangan dan pengaplikasiannya sebagai alat
untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas publik dalam mencapai good
governance.
Langganan:
Postingan (Atom)