”Dandelion…
Begitulah akan aku namakan dirimu jika kau harus terlahir”
Sebuah potret kenangan akan suatu harapan
Sebuah memoar kasih sayang yang dulu tertumpah
Sebuah hangat yang ingin aku miliki sendiri
Begitulah akan aku namakan dirimu jika kau harus terlahir
Karena akan seputih dan serapuh benih bunga dandelion dirimu
Dengan selonjor tangkai hijau yang rawan
Karena akan banyak yang ingin bermain bersama dirimu
Bersenang-senang dengan ketaktentuan arahmu yang tertiup kesana dan kemari
Bertawa riang dengan ketersesatanmu
Begitulah akan aku namakan dirimu jika kau harus terlahir
Aku putuskan untuk membesarkanmu sendiri.
Di tempat yang rindang engkau akan tumbuh
Di dalam suatu kehangatan yang mengisolasi engkau akan aku bekap erat
Di sana, di antara liuk-liuk pembuluh darah yang bagai beludru merah
Hingga engkau menjadi tua dan musnah.
Sekian kali lipat engkau selalu lekas bertumbuh
Menjadi gadis yang hanyalah milikku
Ada bintil yang adalah mata yang elok
Ada mungil yang adalah jemari yang menari
Ada lipatan yang adalah bibir yang mengatup-ngatup gemas
Meskipun dunia kita terbalik, aku akan menjagamu
Dibalik warna yang hanya terkasatkan sebagai putih yang kelabu di atas hitam.
Ketika dirimu bayi aku akan menyusuimu setiap saat dalam nyeri
Memelukmu erat dalam dadaku sambil bersenandung hingga engkau pulas
Ketika dirimu kanak-kanak aku akan mengajarimu mengeja
Memelukmu erat dalam dadaku sambil mengindahkanmu saat engkau berhasil
Ketika dirimu remaja aku akan membantumu membersihkan celanamu yang ternoda darah
Memelukmu erat dalam dadaku sambil mengecup keningmu
Ketika dirimu menjadi dewasa aku akan menemanimu
Memelukmu erat dalam dadaku sambil menjalinkan nyanyian doa
Ketika dirimu ingin melecut dari lubang kehidupan ini,
Aku tidak sanggup melakukannya.
Aku terlalu menyayangi dirimu
Aku putuskan untuk membesarkanmu sendiri.
Karena Dandelion adalah namamu ketika engkau harus dilahirkan
Sang pewaris luka oleh kutuk ayahmu
Berwarna putih dan rapuh seperti benih bunga dandelion, dengan selonjor tangkai hijau yang rawan
Menjadi permainan, kesenangan dan tertawaan karena ketaktentuan arahmu
Aku tidak mau luka itu menyayat senyummu
Darah itu menitik di sudut matamu
Aku tidak mau engkau berteman dengan kapas yang kau gunakan untuk membasuh hatimu dengan obat merah setiap hari
Aku putuskan untuk membesarkanmu sendiri.
Menjagamu di dalam dunia yang meskipun terbalik.
Luka itu biar berjangkit di otak dan selangkaku sendiri
Menjadi penyakit ganas yang akan menggerogotiku.
**Yang kuingat, sore itu sepulang bekerja aku berjalan gontai. Kepalaku sarat dengan pikiran-pikiran yang menggeledak semrawut. Aku letih. Sementara kandunganku yang sudah membesar ini terus bergejolak. Mungkin lapar. Dari dalam kantor sudah riuh terdengar bunyi klakson angkutan umum dijalanan yang padat di luar sana. Aku sangsi akan bisa mampir di warung Mbak Ida untuk membeli mie instan pada jam-jam pulang kerja yang sepadat ini. Aku sangsi akan bisa pulang tepat waktu untuk segera memberi asupan pada janinku ini. Aku sangsi masihkah beberapa peser yang tersisa di akhir bulan ini cukup untuk semua yang terlintas di pikiranku tadi. Sekelebat aku teringat, aku sangsi sudahkah ayahnya dan pencumbunya lenyap dari ruang tidurku semenjak pagi tadi. Atau seperti kemarin, mereka bergelayut di ruang tengah. Aku tergesa menuruni anak tangga, dan air liur Pak Karmin, supir atasanku, yang licin tidak sengaja memelesetkanku. Aku telentang menyangga pinggangku. Aku meringis. Ada merah yang membentuk alur di paha dalamku menuju lantai. Aku berdarah. Sambil menahan nyeri aku menggigit bibirku. Sambil menahan nyeri aku menyambung nafasku. Lima menit. Sepuluh menit. Limabelas menit. Dua puluh menit, aku masih telentang di atas genangan merah. Sementara daya dan upayaku telah habis. Luka itu berjangkit di tubuhku. Ganas dan menggerogoti hidupku. Hanya itu yang kuingat saat menyaksikan pemakamanku.**
Begitulah akan aku namakan dirimu jika kau harus terlahir